etnisitas dalam eksistensi negara


Secara politis, etnisitas menjadi persoalan serius di Indonesia tatkala sentralisasi ambruk, menjadi desentralisasi yang melahirkan batas-batas administrasi politik baru. Kemudian muncul kembali keinginan untuk mempunyai kedaulatan di daerahnya.

Pertengahan tahun 2007 ini, masyarakat Indonesia digegerkan oleh kasus tari ukulele yang ditengarai mengkampanyekan gerakan separatisme. Sinyalemen separatisme itu ditandai dengan berkibarnya bendera RMS persis di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara resmi kenegaraan di Maluku. Kontan saja berbagai protes dan penolakan terhadap pengibaran bendera RMS itu bermunculan.

Jauh sebelumnya, di tahun 2004 RMS memberikan kejutan buat masyarakat Indonesia oleh meletusnya kerusuhan di Ambon. Kerusuhan ini adalah yang pertama setelah warga merasakan situasi tenang pasca perjanjian Malino II. Kondisi ini bermula dari perayaan pawai peringatan HUT ke-54 Republik Maluku Selatan (RMS) pada hari Minggu tanggal 25 April 2004. Pawai terbuka ini ternyata mengundang dan menyulut kemarahan kelompok pembela NKRI, sehingga terjadi bentrokan berdarah. Bentrokan ini juga diwarnai pembakaran puluhan rumah, barak pengungsi, kantor PBB, UNDP, serta sejumlah rumah ibadah.

Jika di Ambon kita menyaksikan RMS yang menjajakan Maluku, maka di tempat lain kita juga menyaksikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM), serta Gerakan Riau Merdeka (GRM). GAM mengedepankan etnis Aceh, OPM mengusung etnis Papua, dan GRM mengumandangkan etnis Riau. Gerakan-gerakan ini memiliki tipologi yang sama, yakni menunjukkan kecenderungan menjadikan etnis sebagai identitas nasional baru. Inilah yang kerap disebut sebagai etnonasionalisme atau nasionalisme etnisitas. Yakni nasionalisme yang bertumpu pada etnisitas. Gerakan tersebut menanggal-kan identitas kebangsaan sebagai bangsa Indonesia. Sebaliknya, lebih menonjolkan identitas suku bangsa atau etnis sebagai alat perekat.

Nasionalisme selalu menjadi spirit paling kuat untuk mempersatukan keragaman masyarakat (etnik dan budaya) dan seluruh teritorial negara-bangsa. Namun, nasionalisme selalu mendapat tantangan serius dari perubahan global, seperti menguatnya etnisitas dan agama. Daniel Bell dalam The End of Ideology mengatakan bahwa nasionalisme sebagai ideologi telah berakhir. Menurut Bell, saat ideologi-ideologi intelektual lama abad ke-19 –khususnya Marxisme– telah lumpuh di masyarakat Barat, terutama Eropa Barat dan AS. ideologi-ideologi “baru” seperti industrialisasi, modernisasi, Pan-Arabisme, dan etnik, justru menemukan momentumnya; khususnya di negara-negara yang baru bangkit di Asia Afrika pasca Perang Dingin II.

Tak berlebihan jika nasionalisme kini telah digerogoti berbagai sentimen lokalitas yang disebut etnisitas. Yugoslavia dan Cekoslovakia (dua negara Balkan) pernah merasakan betapa etnisitas menghancurkan spirit kebangsaan. Fenomena ini lalu menjalar ke negara lain; salah satunya Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak etnik. Fondasi nasionalisme bangsa Indonesia yang telah dibangun sejak zaman kolonialisme, perlahan-lahan mendapat kerikil tajam.

Seperti dikemukakan Ghia Nodia, nasionalisme ibarat satu koin yang mempunyai dua sisi. Sisi pertama adalah politik, sisi lainnya adalah etnik. Tidak ada nasionalisme tanpa elemen politik, tetapi substansinya tidak bisa lain kecuali sentimen etnik. Hubungan elemen ini ibarat jiwa politik yang mengambil tubuhnya dalam etnisitas. Karena itulah, etnisitas menjadi spirit baru bagi pencarian kehidupan bersama (living together) dalam komunitas tertentu.

Di sisi lain, Indonesia sebagai bangsa yang memiliki keragaman etnis, perwujudan nasionalismenya tidak sekadar politik dan etnisitas, tetapi juga unsur agama. Bahkan, pada awal kemerdekaan, seperti dikemukakan Azyumardi Azra, kemajemukan etnisitas beserta potensi divisif dan konfliknya dengan segera dijinakkan faktor Islam sebagai agama mayoritas penduduk. Islam menjadi supra identity dan fokus kesetiaan yang mengatasi identitas dan kesetiaan etnisitas. Dengan demikian, kedatangan dan perkembangan Islam di Indonesia tidak hanya menyatukan aneka kelompok etnis dalam pandangan keagamaan dan dunia yang sama, tetapi juga dalam aspek-aspek penting, bahkan menjadi dasar nasional-isme, khususnya bahasa.

Hal ini seakan membuktikan tesis Francis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man, bahwa nasionalisme tidak lagi menjadi kekuatan signifikan dalam sejarah dunia. Ia melihat kian surutnya nasionalisme lama di negara-negara demokratis paling liberal dan maju sekalipun di Eropa. Kalaupun mereka masih berpegang pada nasionalisme, itu lebih bersifat kultural ketimbang politik, karena lebih toleran.

Dalam konteks NKRI, perkembangan tersebut dianggap memprihatinkan karena dapat mengganggu persatuan dan kesatuan nasional serta bisa mendorong disintegrasi bangsa. Apalagi bila kemunculannya di sebagian daerah menimbulkan dampak bola salju bagi daerah lain. Indonesia terdiri atas ratusan etnis, terdapat sekitar 656 suku di Indonesia. Betapa carut-marutnya bangsa ini bila masing-masing etnis ingin memerdekakan diri! Maka di sinilah nasionalisme dan Etno-Nasionalisme menjadi isu yang relevan dalam studi politik-sosial di Indonesia.

Sejarah ‘rasa kebangsaan’ Bangsa Indonesia

Dalam gerakan kemerdekaan di Indonesia melawan kolonialime Belanda, para pemimpin gerakan kemerdekaan seperti Soekarno mengadopsi nasionalisme yang mengacu pada Ernest Renan. Menurut Renan, Nasionalisme adalah kesatuan solidaritas yang besar, tercipta oleh perasaan pengorbanan yang telah dibuat di masa lampau untuk membangun masa depan bersama. Hal ini menuntut kesepakatan dan keinginan yang dikemukakan dengan nyata untuk terus hidup bersama. Nasionalisme ini juga diartikan sebagai nasionalisme anti kolonialisme.

Secara politis, etnisitas menjadi persoalan serius di Indonesia tatkala sentralisasi ambruk, menjadi desentralisasi yang melahirkan batas-batas administrasi politik baru. Kemudian muncul kembali keinginan untuk mempunyai kedaulatan di daerahnya. Tidak heran kalau kemudian seringkali muncul rengekan yang mempertanyakan siapa yang menjadi tuan rumah di suatu wilayah. Atau, sering kali muncul pernyataan bahwa kamilah yang seharusnya menjadi tuan di daerah ini.

Kesatuan budaya selama ini diagung-agungkan dan dijaga dengan sangat sentralistis oleh negara. Namun, begitu negara tidak kuat lagi melakukan kontrolnya, begitu sumber ekonomi negara tidak ada lagi yang bisa dibagikan, begitu alat represif negara tidak lagi selalu hadir menekan rakyat, etnisitas muncul sebagai identitas diri yang melekat dengan sebuah wilayah atau dalam istilah Moeslim Abdurrahman dikatakan sebagai house culture.

Setelah Timor Timur lepas, Papua, Maluku, dan Aceh, seolah tak sepi dari gejolak untuk memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tahun 2003, banyak orang memprediksi bahwa penyelesaian damai di Aceh tak akan usai meski sudah dimoderatori juru runding internasional, Henry Dunant Centre (HDC). Perundingan damai yang sedianya dilaksanakan 25 April, lalu diundur menjadi 27 April 2003, batal dilaksanakan. Pemerintah saat itu menilai GAM yang melakukan pengunduran jadwal tidak memiliki itikad baik untuk menciptakan perdamaian di Aceh. Padahal pertemuan itu merupakan sidang Dewan Bersama (Joint Council) yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan persoalan Aceh.

Dalam sejarah bangsa-bangsa, hal serupa pernah terjadi. Eropa pernah mengalami bencana yang hebat, ketika pemimpin Jerman Adolf Hitler berusaha memusnahkan dan mengusir ras Yahudi. Selain ras, isu etnis juga menjadi masalah yang serius, misalnya yang terjadi di bekas Yugoslavia, di mana kelompok etnis Bosnia, Kosovo-Albania, dan etnis Kroasia-Bosnia dibantai dan diusir. Hal ini teradi pada 1999, di mana pasukan Republik Federal Yugoslavia dan Serbia melakukan teror dan kekerasan terhadap warga sipil Kosovo Albania agar mereka meninggalkan kampung halaman mereka.

Sebelumnya, pada 1992, Serbia melakukan pengusiran etnis Kroasia dan orang-orang non-Serbia lainnya di sepertiga wilayah Republik Kroasia. Di bawah Slobodan Miloseviec, Serbia mengalami transisi yang menakutkan. Bahkan disimpulkan bahwa demokrasi di sana tidak mendorong ke arah kewarganegaraan, tetapi ke otoriter populis.

Di Indonesia, konflik antar etnis terjadi di Kalimantan yang melibatkan etnis Dayak dan etnis Madura. Konflik terjadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ribuan orang juga mati. Begitu pula dengan kasus Ambon dan Poso. Banyak analisis spekulatif bermunculan menanggapi situasi di Ambon saat itu. Ada yang mengatakan, bergolaknya Ambon erat terkait dengan persoalan bisnis (militer), agama, permainan politik di Jakarta menjelang pemilihan presiden, sampai isu separatisme. Toh, kasus Ambon memang tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang. Bisa jadi kesemuanya sangat terkait.

Belajar dari konflik Ambon tahun 1999, konflik Ambon sesungguhnya adalah konflik politik identitas komunal agama-etnis. Konflik ini muncul sebagai akumulasi dari tiga macam konflik: konflik politik, konflik sosial-ekonomi, dan konflik identitas kolektif. Konflik itu makin menguat akibat ketidakmampuan pemerintah pusat dalam meng-handle isu-isu atau kasus lokal yang muncul dengan adil dan fair. Seringkali yang digunakan adalah cara pandang pusat, bukan cara pandang pihak yang berkonflik. Cara yang digunakan juga lebih banyak bersifat represif ketimbang persuasif. Akibatnya, masalah tidak terselesaikan. Meski cara tersebut bisa meredam konflik untuk sementara waktu, namun situasi yang muncul kemudian bukanlah rasa aman, melainkan rasa waswas dan tegang.

Ironisnya adalah ketika situasi konflik tersebut menandai menguatnya kembali isu separatisme. Jika benar, pemerintah Indonesia akan dihadapkan pada kondisi dilematis. Di saat Indonesia sedang berusaha membangun kelumpuhan total akibat krisis multidimensi, tuntutan berbagai daerah untuk melepaskan diri semakin kencang. Padahal, kondisi di atas tidak hanya dirasakan di Ambon. Di berbagai daerah, pasca jatuhnya rezim Orde Baru hingga Orde Reformasi saat ini, kelompok separatis banyak bermunculan. Dalam hal ini, disadari atau tidak, era reformasi yang ditandai dengan kebebasan mengekspresikan aspirasi politik telah menyuburkan benih-benih separatisme. Zaman kesempatan ini dimanfaatkan beberapa pihak sebagai peluang untuk mengungkapkan keinginan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Etnisitas

Etnisitas adalah sebuah konsep kultural yang berpusat pada pembagian norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, simbol dan praktik-praktik kultural. Formasi kelompok etnis menyandarkan dirinya pada pembagian penanda-penanda kultral yang dibangun dalam di bawah konteks sejarah, sosial, dan politik yang khusus, yang mendorong perasaan saling memiliki, yang menciptakan mitos-mitos leluhur. Mengikuti argumen anti-esensialis, adalah jelas bahwa kelompok etnis tidaklah mendasarkan dirinya pada garis primordial atau karakteristik kultural yang bersifat universal, melainkan sebuah praktik diskursif. Etnisitas mewujud dalam bagaimana cara kita berbicara tentang identitas kelompok, tanda-tanda dan simbol-simbol yang kita pakai dalam mengidentifikasi kelompok.

Konsep etnisitas bersifat relasional yang berkaitan dengan identifikasi diri dan asal-usul sosial. Apa yang kita pikirkan sebagai identitas kita tergantung kepada apa yang kita pikir-kan sebagai bukan kita. Orang Jawa bukanlah orang Sunda, Madura, Batak, Tionghoa, dll. Konsekuensinya, etnisitas akan lebih baik dipahami sebagai proses penciptaan batas-batas formasi dan ditegakkan dalam kondisi sosio-historis yang spesifik.

Konsepsi kulturalis tentang etnisitas merupakan sebuah usaha yang berani untuk melepaskan diri dari implikasi rasis yang inheren dalam sejarah konsep ras. Stuart Hall menyatakan, “jika subjek kulit hitam dan pengalaman kulit hitam tidak distabilkan oleh alam atau esensi lainnya, maka pastilah ia terkonstruksi secara historis, cultural, dan politis. Term etnisitas mengakui kedudukan sejarah, bahasa, dan kebudayaan dalam konstruksi subjektivitas dan identitas, seperti halnya fakta bahwa semua wacana selalu punya tempat, posisi, situasi, dan semua pengetahuan selalu kontekstual.”

Masalah dalam konsepsi kulturalis tentang etnisitas adalah diabaikannya pertanyaan-pertanyaan tentang kekuasaan dan ras. Etnisitas dapat dikembangkan ke dalam diskusi tentang multikulturalisme, untuk menunjukkan formasi sosial yang beroperasi dalam kelompok yang plural dan sejajar, daripada kelompok yang terasialisasi secara hirarkis. Karenanya, Hooks dan Gilroy lebih suka memakai konsep ”ras”, bukan karena ia ber-hubungan dengan keabsolutan biologis atau kultural, tetapi karena ia berhubungan dengan isu kekuasaan. Sebaliknya, Hall mencoba membangun kembali konsep etnisitas dengan memusatkan perhatian pada dimana kita semua terlokasikan secara etnis.

Etnisitas terbangun dalam relasi kekuasaan antarkelompok. Ia merupakan sinyal keterpinggiran, sinyal tentang pusat dan pinggiran, dalam konteks sejarah yang selalu berubah. Di sini, pusat dan pinggiran dibentuk dalam representasi politik. Seperti argumen Brah, ”adalah penting untuk menjadikan sebuah aksioma bahwa apa yang direpresentasikan sebagai ’pinggiran’ tidaklah sepenuhnya pinggiran tetapi merupakan efek dari representasi itu sendiri. ’Pusat’ tidaklah lebih pusat daripada pinggiran.

Fenomena penguatan keberadaan etnis lokal di daerah-daerah di indonesia, dapat kita amati dari wujudnya pembentukan lembaga-lembaga masyarakat yang mengatasnamakan etnis, seperti Forum Betawi Rempug (FBR) di Jakarta, di mana mereka telah mengkoor-dinasikan diri mereka dalam keanggotaan yang solid, dengan cara memasukkan beberapa orang yang dianggap orang penting dann terkemuka dari setiap kawasan di daerah tersebut.

Nasionalisme

Sebagai konsep sosial, nasionalisme tidak muncul dengan begitu saja tanpa proses evolusi makna melalui media bahasa. Dalam studi semantik Guido Zernatto, kata nation berasal dari kata Latin natio yang berakar pada kata nascor yang berarti ’saya lahir’. Selama Kekaisaran Romawi, kata natio secara peyoratif dipakai untuk mengolok-olok orang asing. Beberapa ratus tahun kemudian pada Abad Pertengahan, kata nation digunakan sebagai nama kelompok pelajar asing di universitas-universitas (seperti Permias untuk mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat sekarang).

Kata nation mendapat makna baru yang lebih positif dan menjadi umum dipakai setelah abad ke-18 di Prancis. Ketika itu Parlemen Revolusi Prancis menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale yang menandai transformasi institusi politik tersebut, dari sifat eksklusif yang hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas meraih hak yang sama dengan kaum kelas elite dalam berpolitik. Dari sinilah makna kata nation menjadi seperti sekarang, yang merujuk pada bangsa atau kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara.

Perkembangan nasionalisme sebagai sebuah konsep yang merepresentasikan sebuah politik bagaimanapun jauh lebih kompleks dari transformasi semantik yang mewakilinya. Begitu rumitnya pemahaman tentang nasionalisme membuat ilmuwan sekaliber Max Weber nyaris frustrasi ketika harus memberikan penjelasan sosiologis tentang fenomena nasionalisme. Dalam sebuah artikel pendek yang ditulis pada 1948, Weber menunjukkan sikap pesimistis bahwa sebuah teori yang konsisten tentang nasionalisme dapat dibangun. Tidak adanya rujukan mapan yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami nasional-isme hanya akan menghasilkan kesia-siaan. Apa pun bentuk penjelasan tentang nasional-isme, baik itu dari dimensi kekerabatan biologis, etnisitas, bahasa, maupun nilai-nilai budaya, menurut Weber, hanya akan berujung pada pemahaman yang tidak komprehensif.

Kekhawatiran Weber ini wajar mengingat komitmennya terhadap epistemologi modernisme yang mencari pengetahuan universal. Mungkin dengan alasan yang sama, dua bapak ilmu sosial –Karl Marx dan Emile Durkheim– tidak menaruh perhatian serius pada isu nasionalisme walau tentu saja pemikiran mereka banyak mengilhami penjelasan tentang fenomena nasionalisme.

Pesimisme Weber mungkin benar. Namun, itu tak berarti nasionalisme harus disikapi secara taken for granted dan diletakkan jauh-jauh dari telaah teoretis. Besarnya implikasi nasionalisme dalam berbagai dimensi sosial mengundang para sarjana mencoba memahami dan sekaligus mencermati secara kritis konsep bangsa dan kebangsaan (nasionalisme), seberapa pun besarnya paradoks dan ambivalensi yang dikandungnya. Tentu saja upaya memecahkan teka-teki nasionalisme tidak mudah, mengingat begitu beragamnya faktor yang membentuk bangunan nasionalisme.

Andaikan nasionalisme sebuah gedung, setiap upaya mencari esensi nasionalisme berada di lantai yang berbeda-beda. Konsekuensinya, teorisasi nasionalisme sering bersifat partikular, tidak universal seperti yang diinginkan Weber. Namun, ini tidak menjadi masalah, khususnya dalam paradigma pascamodernisme ketika pengetahuan tak lagi monolitik dan homogen. Beragamnya pandangan justru akan memperkaya pemahaman manusia akan fenomena di sekelilingnya.

Etnonasionalisme

Etnonasionalisme adalah perasaan senasib yang timbul dalam satu komunitas etnik atau paham kebangsaan yang berbasis pada sentimen etnik. Semangat etnosentrisme ingin diwujudkan menjadi suatu entitas politik yang bernama ’negara-bangsa’. Ada upaya homogenisasi pengertian bangsa dalam hal ini, yaitu pengertian bangsa yang lebih diperkecil kepada ikatan perasaan sesuku yang ditandai dengan kesamaan budaya, bahasa, atau kesetiaan pada suatu teritorialitas tertentu.

Dalam konteks Indonesia, gejala etnonasionalisme dapat juga dipandang sebagai pendefinisian rasa kebangsaan kepada ikatan-ikatan primordial (etnik). Atau dapat juga dipandang sebagai hilangnya loyalitas suatu kelompok etnik kepada suatu kesepakatan terhadap ikatan yang lebih besar (Indonesia). Proses pelepasan akan semakin cepat ketika ikatan-ikatan yang lebih besar melemah karena faktor-faktor perubahan politik dan sosial.

Menguatnya etnonasionalisme mempunyai berbagai konsekuensi. Di antaranya yang terpenting adalah, pertama, menjauhkan diri atau bahkan keluar dari tatanan negara bangsa. Konsekuensi ini berhadap-hadapan dengan tuntutan negara-bangsa untuk mempunyai kontrol sepenuhnya atas teritorial dan warganya. Semangat identitas dan loyalitas yang bersifat etnik mengemuka dan menuntut untuk bertransfromasi menjadi entitas politik baru. Etnisitas dapat digunakan untuk mendukung dan mendelegitimasi negara.

Kedua, berusaha mendudukkan orang sesuku dalam pemerintahan (kekuasaan politik). Ini sering kita temui dalam berbagai jenjang pemerintahan, baik pusat maupun daerah, lingkaran pertama di sekitar pejabat adalah orang sedaerah.

Membangun nasionalisme baru di Indonesia

Mengapa gerakan etnonasionalisme sulit dieliminasi bahkan cenderung menguat di Indonesia? Mengapa saudara kita sesama warga negara masih memperjuangkan dan/atau menuntut kemerdekaan atas nama identitas lokalnya?

Lahirnya isu-isu tentang identitas etnis boleh jadi adalah salah sebuah format perlawanan terhadap wacana global di mana semua orang dalam belahan dunia manapun dianggap sama dalam berbagai hal. Fenomena tersebuh menggejala dan menjadi salah satu format konsolidasi internal komunitas yang dibayangkan dapat melawan bayang-bayang siapa yang dianggap menjadi lawan. Dalam konteks suku-suku di Indonesia, khususnya yang non-jawa, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, munculnya penguatan spirit identitas suku-suku tersebut adalah dalam rangka melawan kebijakan pemerintah pusat yang oleh masyarakat dari suku-suku “luar pulau” dirasakan sebagai pemerintahan yang sentralistik.

Lahirnya kesadaran etnisitas juga seakan sebagai usaha untuk memetakan siapa lawan dan siapa kawan dalam rangka memperebutkan kepentingan tertentu. Atau bisa juga sebagai bentuk dari sikap politik diskriminatif. Pada berbagai kasus, “etnis asli” (indigenous) yang mayoritas dibanding etnis yang lain di suatu daerah, seringkali melakukan tirani mayoritas dalam berbangsa dan bernegara.

Benedict Anderson mengatakan pada dasarnya nasionalisme negara-negara pasca-kolonial, seperti Indonesia, terbentuk sebagai sebuah ide atas komunitas yang dibayangkan (imagined communities). Nasionalisme hidup dari bayangan tentang komunitas yang senantiasa hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi referensi identitas sosial. Nasionalisme ’dibayangkan’ karena setiap anggota dari suatu bangsa, bahkan bangsa yang terkecil sekalipun, tidak mengenal seluruh anggota dari bangsa tersebut. Nasionalisme tidak terbangun atas dasar kesamaan-kesamaan tujuan dan pilihan-pilihan rasional dan faktual.

Setelah sekian lama hidup dalam kebersamaan imajiner tidak juga lepas dari ’koloni baru’, yakni kekuatan politik hegemonik dan sentralistik. Maka muncullah imaji baru yang lebih menyempit (melokal) dengan etnisitas sebagai basisnya. Pada level inilah elemen-elemen nasionalisme seperti bahasa, kesamaan sejarah, identitas masa lalu, dan solidaritas sosial yang mestinya menjadi pengikat mulai pudar. Proses pembentukan kesadaran identitas, solidaritas sosial, dan sentimen kebangsaan terganggu.

Sementara itu jawaban lain mengatakan bahwa etnonasionalisme menguat karena keadaan sosial-ekonomi. Yang masih terlilit kemiskinan seringkali mendatangkan sikap protes dan perlawanan sosial terhadap penguasa. Redistribusi yang diskriminatif dan ketidakadilan sosial dalam bidang hukum, politik, ekonomi, religius, dan pendidikan juga menimbulkan sikap antipati dan ingin melepaskan diri dari suatu bangsa. Selain itu, pengelolaan kekayaan alam tanpa memerhatikan masyarakat lokal telah menimbulkan kecemburuan sosial yang akan terjelma dalam sikap perlawanan.

Sampai di sini, nasionalisme Indonesia yang dulu menjadi faktor perekat kini digugat. Nasionalisme sekarang tidak mampu merangkum dan menyelesaikan persoalan lokal yang makin menggeliat. Nasionalisme Indonesia kini bagai cangkang pecah. Karena itu semestinya pemerintah memikirkan kembali konsep nasionalisme dan formasi negara ke depan. Dalam konteks ini, bangkitnya gerakan nasionalisme etnisitas juga harus dilihat sebagai reaksi atas ketidakmampuan dan kelambanan pemerintah dalam mengelola daerah. Sekaligus menunjukkan bahwa adanya distrust atas berbagai langkah dan kebijakan pemerintah selama ini. Bukan semata-mata gerakan politis yang harus ditumpas dan diberangus.

Perlu diakui juga bahwa bangkitnya etnisitas itu juga tidak terlepas dari keinginan sekelompok masyarakat di sebuah komunitas untuk mendapatkan akses kekuasaan, dengan cara mengelola sentimen yang terkait dengan suku, agama, ras, dan antargolongan. Sentimen kedaerahan itu menjadikan mereka memiliki perasaan bahwa hanya kelompok-nyalah yang terhebat dan terbaik. Kelompok yang lain, menjadi penumpang kelas dua dalam sebuah komunitasnya. Ini menjadikan sebuah perasaan, kelompok lain menjadi tidak penting sebaliknya membuat kelompok tertentu menjadi merasa sangat dominan. Efek dari keadaan ini adalah peminggiran atau pengkelasduaan atas kelompok tertentu, misalnya dengan peraturan administrasi yang diskriminatif, atau perlakuan sosial yang berbeda-beda.

Membangun nasionalisme dalam konteks ini lebih dari sekadar upaya penanaman semangat persatuan dan kesatuan, menyebarkan gagasan toleransi, atau mencangkok wacana pluralisme ataupun multikulturalisme. Merumuskan kembali kebangsaan Indonesia dan menghimpun gugusan-gugusan kebangsaan yang retak ini adalah suatu kerja membangun kesadaran kebangsaan yang baru untuk menata kontrak sosial politik bersama bagi segenap elemen kebangsaan, kerja yang menjadi fondasi dasar dari suatu negara-bangsa.

Kontrak sosial-politik ini dimaksudkan untuk menyatukan kembali tiap-tiap anggota dan warganya (baca: daerah) yang selama ini dimarginalkan. Juga untuk mengakomodasi aspirasi, baik ekonomi, politik, maupun kebudayaan, baik di tingkat pusat maupun daerah dan membangun kesepakatan-kesepakatan baru menuju kehidupan dalam bingkai kebangsa-an yang lebih baik.

Untuk itu, ada beberapa hal yang mesti dilakukan pemerintah menuju kontrak sosial politik baru ini. Pertama, mengidentifikasi dan membangun dialog serta komunikasi menyeluruh yang melibatkan semua pihak perihal masalah kebangsaan untuk merumuskan kembali konsep nasionalisme. Pemerintah harus aspiratif dan menerima kritik, protes maupun keluhan dari masyarakat. Kedua, pemerintah harus membagi kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah ketimbang pembagian kerja. Juga adanya devolusi kekuasaan politik (otonomi politik) untuk para pemerintah daerah ketimbang dekonsentrasi dan delegasi kekuasaan kepada pemerintah daerah (otonomi administratif). Ketiga, menjamin supremasi hukum dalam hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan lokal. Pemerintah lokal diberikan hak sepenuhnya untuk mengelola daerahnya masing-masing tanpa intervensi pemerintah pusat.

Dalam konteks inilah, saat terjadi gerakan separatisme di beberapa daerah, maka yang diperlukan adalah bangunan nasionalisme baru, yang tidak lagi menonjolkan kesetiaan/ loyalitas sepenuhnya kepada bangsa, tetapi penciptaan keadilan (sosial, ekonomi, dan politik) kepada seluruh masyarakat. Kesetiaan masyarakat etnik kepada suatu bangsa tanpa dibarengi upaya menyejahterakan masyarakat berdasar kekayaan alam yang melimpah, tidak akan berpengaruh kepada makin kuatnya loyalitas kepada bangsa. Justru yang diyakini adalah penjajahan baru atas bangsanya sendiri.

Dengan membangun kontrak sosial-politik ini, diharapkan gerakan etnonasionalisme ataupun nasionalisme etnisitas bisa dibendung. Sebab, kontrak sosial-politik ini berusaha semaksimal mungkin mengakomodasi, menampung, dan merealisasikan aspirasif daerah. Namun, ini bukan berarti bahwa pemerintah pusat tidak mempunyai daya tawar sama sekali. Pemerintah tetap mempunyai kuasa untuk menindak dan mengurusi persoalan-persoalan nasional yang menjadi problem bersama. Kontrak sosial-politik ini diharapkan menjadi jembatan yang menghubungkan antardaerah dan pusat secara dialogis bukan semata-mata hierarkis. Dengan berlaku demikian, maka komunikasi serta solidaritas kebersamaan sebagai satu bangsa senantiasa terjaga.

Khatimah

Paparan di atas membuka mata kita bahwa masalah nasionalisme di Indonesia sangat rumit dan tidak mudah diurai. Nasionalisme kita, ibarat diagram konkruen, harus men-cakup irisan-irisan berbagai variabel yang terdiri dari etnik, agama, dan jaminan rasa keadilan. Kegagalan meramu variabel ini gerakan etnoreligionasionalisme akan terus menggerogoti, nasionalisme menjadi terpecah belah. Ini berarti gagal pula mewujudkan Indonesia damai yang diidamkan.

Oleh karena itu, ke depan integrasi nasional harus mampu mentransformasi kesadaran baru kepada suatu identitas baru dengan implikasi sosiologis adanya jaminan keamanan dan kesejahteraan.[]

2 Comments

  1. Tulisan yang bagus….dan banayk orang harusnya baca tulisan ini, persolan etnisitas adalah hal yg pelik dipecah di Indonesia, selama memang pemerintahnya tak peduli akan kesejahteraan ekonomi rakyatnya…

    Like

    Reply

komentar